NILAI DASAR PERJUANGAN HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM
A. DASAR-DASAR KEPERCAYAAN
Manusia memerlukan
suatu bentuk kepercayaan. Kepercayaan itu akan melahirkan tata nilai guna
menopang hidup dan budayanya. Sikap tanpa percaya atau ragu yang sempurna tidak
mungkin dapat terjadi. Tetapi selain kepercayaan itu di anut karena kebutuhan
dalam waktu yang sama juga harus merupakan kebenaran. Demikian pula cara
berkepercayaan harus pula benar. Menganut kepercayaan yang salah bukan saja
tidak di kehendaki akan tetapi bahkan berbahaya.
Disebabkan kepercayaan
itu diperlukan, maka dalam kenyataan kita temui bentuk-bentuk kepercayaan yang
beraneka ragam di kalangan masyarakat. Karena bentuk-bentuk kepercayaan itu
berbeda satu dengan yang lain, maka sudah tentu ada dua kemungkinan: kesemuanya
itu salah atau salah satu saja diantaranya yang benar. Di samping itu
masing-masing bentuk kepercayaan mungkin mengandung unsur-unsur kebenaran dan
kepalsuan yang campur baur.
Sekalipun demikian,
kenyataan menunjukkan bahwa kepercayaan itu melahirkan nilai-nilai. Nilai-nilai
itu kemudian melembaga dalam tradisi-tradisi yang diwariskan turun menurun dan
mengikat anggota masyarakat yang mendukungnya. Karena kecenderungan tradisi
untuk tetap mempertahankan diri terhadap kemungkinan perubahan nilai-nilai,
maka dalam kenyataan ikatan-ikatan tradisi sering menjadi penghambat
perkembangan peradaban dan kemajuan manusia. Disinilah terdapat kontradiksi
kepercayaan diperlukan sebagai simber tatanilai guna menopang peradaban
manusia, tetapi nilai-nilai itu melembaga dalam tradisi yang membeku dan
mengikat, maka justru merugikan peradaban.
Oleh karena itu, pada
dasarnya, guna perkembangan peradaban dan kemajuannya, manusia harus selalu
bersedia meninggalkan setiap bentuk kepercayaan dan tata nilai yang
tradisional, dan menganut kepercayaan yang sungguh-sungguh yang merupakan
kebenaran. Maka satu-satunya sumber nilai sumber dan pangkal nilai itu haruslah
kebenaran itu sendiri. Kebenaran merupakan asal dan tujuan segala kenyataan.
Kebenaran yang mutlak adalah Tuhan Allah.
Perumusan kalimat
persaksian (syahadat) islam yang kesatu : Tiada Tuhan selain Allah mengandung
gabungan antara peniadaan dan pengecualian. Perkataan “Tidak ada Tuhan”
meniadakan segala bentuk kepercayaan, sedangkan perkataan “Selain Allah”
memperkecualikan satu kepercayaan kepada kebenaran. Dengan peniadaan itu
dimaksudkan agar manusia membebaskan dirinya dari belenggu segenap kepercayaan
yang ada dengan segala akibatnya, dan dengan pengecualian itu dimaksudkan agar
manusia hanya tunduk pada ukuran kebenaran dalam menetapkan dan memilih
nilai-nilai, itu berarti tunduk kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa, Pencipta
segala yang ada termasuk manusia. Tunduk dan pasrah itu di sebut Islam.
Tuhan itu ada, dan ada
secara mutlak hanyalah Tuhan. Pendekatan kearah pengetahuan akan adanya Tuhan
dapat di tempuh manusia dengan berbagai jalan, baik yang bersifat intuitif,
ilmiah, histories, pengalaman dan lain-lain. Tetapi karena kemutlakan Tuhan dan
kenisbian manusia, maka manusia tidak dapat menjangkau sendiri kepada
pengertian akan hakekat Tuhan yang sebenarnya. Namun demi kelengkapan
kepercayaan kepada Tuhan, manusia memerlukan pengetahuan secukupnya tentang
Ketuhanan dan tatanilai yang bersumber kepada-Nya. Oleh sebab itu diperlukan
sesuatu yang lain yang lebih tinggi namun tidak bertentangan dengan insting dan
indera.
Sesuatu yang di
perlukan itu adalah “Wahyu” yaitu pengajaran atau pemberitahuan yang langsung
dari Tuhan sendiri kepada manusia. Tetapi sebagaimana kemampuan menerima
pengetahuan sampai ketingkat yang tertinggi tidak dimiliki oleh setiap orang,
demikian juga wahyu tidak diberikan kepada setiap orang. Wahyu itu diberikan
kepada manusia tertentu yang memenuhi syarat dan dipilih oleh Tuhan sendiri
yaitu para Nabi dan Rosul atau utusan Tuhan. Dengan kewajiban para Rosul itu
untuk menyampaikannya kepada seluruh ummat manusia. Para rosul dan nabi itu
telah lewat dalam sejarah semenjak Adam, Nuh, Ibrahim, Musa, Isa atau Yesus
anak Mariam sampai pada Muhammad SAW. Muhammad adalah Rosul penghabisan, jadi
tiada Rosul lagi sesudahnya. Jadi para Rosul dan Nabi itu adalah manusia biasa
dengan kelebihan bahwa mereka menerima wahyu dari Tuhan.
Wahyu Tuhan yang
diberikan kepada Muhammad SAW terkumpul seluruhnya dalam kitab suci Al-Quran.
Selain berarti bacaan, kata Al-Quran juga berarti “kumpulan” atau kompilasi,
yaitu kompilasi dari segala keterangan. Sekalipun garis-garis besar Al-Quran
merupakan suatu kompendium yang sangat singkat namun mengandung
keterangan-keterangan tentang segala sesuatu sejak dari sekitar alam dan
manusia sampai kepada hal-hal gaib yang tidak mungkin diketahui manusia dengan
cara lain. Jadi untuk memahami Ketuhanan Yang Maha Esa dan ajaran-ajaran-Nya,
manusia harus berpegang kepada Al-Quran dengan terlebih dahulu mempercayai kerasulan
Muhammad SAW. Maka kalimat kesaksian yang kedua memuat essensi kedua dari
kepercayaan yang harus dianut manusia, yaitu bahwa Muhammad adalah Rosul Allah.
Kemudian di dalam Al-Quran didapat keterangan lebih lanjut tentang Ketuhanan
Yang Maha Esa ajaran-ajaranNya yang merupakan gaaris besar dan jalan hidup yang
mesti diikuti oleh manusia. Tentang Tuhan antara lain: surat Al-Ikhlas
menerangkan secara singkat: katakanlah: “Dia adalah Tuhan Yang Maha Esa. Dia
itu adalah Tuhan. Tuhan tempat menaruh segala harapan. Tiada ia berputra dan
tiada pula berbapa. Selanjutnya ia adalah Maha Kuasa, Maha Mengetahui, Maha
Adil, Maha Bijaksana, Maha Kasih dan Maha Sayang, Maha Pengampun dan seterusnya
dari pada segala sifat kesempurnaan yang selayaknya bagi yang Maha Agung dan
Maha Mulia, Tuhan seru sekalian Alam.
Juga di terangkan bahwa
Tuhan adalah yang pertama dan yang penghabisan, Yang lahir dan Yang Bathin, dan
“kemanapun manusia berpaling maka disanalah wajah Tuhan”. Dan “Dia itu bersama
kamu kemana kamu berada”. Jadi Tuhan tidak terikat ruang dan waktu.
Sebagai “yang pertama
dan yang penghabisan”, maka sekaligus Tuhan adalah asal dan tujuan segala yang
ada, termasuk tata nilai. Artinya: sebagaimana tata nilai harus bersumber
kepada kebenaran dan berdasarkan kecintaan kepadaNya, iapun sekaligus menuju
kepada kebenaran dan mengarah kepada “persetujuan” atau “ridhanya”. Inilah
kesatuan antara asal dan tujuan hidup yang sebenarnya (Tuhan sebagai tujuan
hidup yang benar, diterangkan dalam bagian yang lain). Tuhan menciptakan alam
raya ini dengan sebenarnya, dan mengaturnya dengan pasti. Oleh karena itu alam
mempunyai eksistensi yang riil dan obyektif, serta berjalan mengikuti
hukum-hukum yang tetap. Dan sebagai ciptaan daripada sebaik-baiknya
penciptanya, maka alam mengandung kebaikan pada diriNya dan teratur secara
harmonis. Nilai ciptaan ini untuk manusia bagi keperluan perkembangan
peradabannya. Maka alam dapat dan dijadikan objek penyelidikan guna dimengerti
hukum-hukum Tuhan (Sunnatullah) yang berlaku di dalamnya. Kemudian manusia
memanfaatkan alam sesuai dengan hukum-hukumnya sendiri.
Jika kenyataan alam ini
berbeda dengan persangkaan idealisme maupun agama hindu yang mengatakan bahwa
alam tidak mempunyai eksistensi riil dan objektif, melainkan semua palsu atau
maya atau sekedar emansipasi atau pencaran daripada dunia lain yang kongkrit,
yaitu idea atau nirwana. Juga tidak seperti dikatakana oleh filsafat
Agnosticisme yang mengatakan bahwa alam tidak mungkin dimengerti manusia. Dan
sekalipun filsafat materialisme mengatakan bahwa alam ini mempunyai eksistensi
riil dan objektif sehingga dapat dimengerti oleh manusia, namun filsafat itu
mengatakan bahwa alam ada dengan sendirinya. Peniadaan pencipta atau peniadaan
Tuhan adalah satu sudut dari pada filsafat materialisme.
Manusia adalah puncak
ciptaan dan makhluk-Nya yang tertinggi. Sebagai makhluk yang tertinggi manusia
dijadikan sebagai “khalifah” atau wakil Tuhan di bumi. Manusia di tumbuhkan
dari bumi dan diserahi untuk memakmurkannya. Maka urusan di dunia telah diserahkan
Tuhan kepada manusia. Manusia sepenuhnya bertanggung jawab atas segala
perbuatannya di dunia. Perbuatan manusia ini membentuk rentetan peristiwa yang
di sebut “sejarah”. Dunia adalah wadah bagi sejarah, dimana manusia menjadikan
pemilik atau “rajanya”.
Sebenarnya terdapat
hukum-hukum Tuhan yang pasti (sunattullah) yang menguasai sejarah, sebagaimana
adanya hukum yang menguasai alam tetapi berbeda dengan alam yang telah ada
secara otomatis tunduk kepada sunatullah itu, manusia karena kesadaran dan kemampuannya
untuk mengadakan pilihan untuk tidak terlalu tunduk kepada hukum-hukum
kehidupannya sendiri. Ketidakpatuhan itu di sebabkan karena sikap menentang
atau kebodohan. Hukum dasar alami daripada segala yang ada inilah “perubahan
dan perkembangan”, sebab: segala sesuatu ini adalah ciptaan Tuhan dan
pengembangan olehNya dalam suatu proses yang tiada henti-hentinya. Segala
sesuatu ini adalah berasal dari Tuhan dan menuju kepada Tuhan. Maka
satu-satunya yang tak mengenal perubahan hanyalah Tuhan sendiri, asal dan
tujuan segala sesuatu. Di dalam memenuhi tugas sejarah, manusia harus berbuat
sejalan dengan arus perkembangan itu menuju kepada kebenaran. Hal itu berarti
bahwa manusia harus selalu berorientasi kepada kebenaran, dan untuk itu harus
mengetahui jalan menuju kebenaran itu. Dia tidak mesti selalu mewarisi begitu
saja nilai-nilai tradisional yang tidak diketahuinya dengan pasti akan
kebenarannya.
Oleh karena itu
kehidupan yang baik adalah yang disemangati oleh iman dan ilmu. Bidang iman dan
pencabangannya menjadi wewenang wahyu sedangkan bidang ilmu pengetahuan menjadi
wewenang manusia untuk mengusahakan dan mengumpulkannya dalam kehidupan dunia
ini. Ilmu itu meliputi tentang alam dan tentang manusia (sejarah). Untuk
memperoleh ilmu pengetahuan tentang nilai kebenaran sejauh mungkin, manusia
harus melihat alam dan kehidupan ini sebagaimana adanya tanpa melekatkan
padanya kualitas-kualitas yang bersifat ketuhanan. Sebab sebagaimana
diterangkan di muka, alam diciptakan dengan wujud yang nyata dan objektif
sebagaimana adanya. Alam tidak menyerupai Tuhan dan Tuhan pun untuk sebagian
atau seluruhnya tidak sama dengan alam. Sikap memper-Tuhan-kan atau mensucikan
(saklarisasi) haruslah di tujukan kepada Tuhan sendiri. Tuhan Allah Yang Maha
Esa.
Ini disebut “Tauhid”
dan lawannya disebut “syirik” artinya mengadakan tandingan terhadap Tuhan, baik
seluruhnya atau sebagian maka jelasnya bahwa syirik menghalangi perkembangan
dan kemajuan peradaban, kemanusiaan menuju kebenaran.
Sesudahnya atau
kehidupan duniawi ini ialah “hari kiamat”. Kiamat merupakan permulaan bentuk
kehidupan yang tidak lagi bersifat sejarah atau duniawi, yaitu kehidupan dunia
akhirat. Kiamat disebut juga “hari agama” atau yaumuddin, dimana Tuhan menjadi
satu-satunya pemilik dan raja. Disitu tidak lagi terdapat kehidupan historis,
seperti kebebasan, usaha dan tata masyarakat. Tetapi yang ada adalah
pertanggungan jawab individu manusia yang bersifat mutlak di hadapan ilahi atas
segala perbuatannya dahulu didalam sejarah.
Selanjutnya kiamat
merupakan “hari agama”, maka tidak yang mungkin kita ketahui selain daripada
yang di terangkan dalam wahyu. Tentang hari kiamat dan kelanjutannya/kehidupan
akhirat yang non historis manusia hanya diharuskan percaya tanpa kemungkinan
mengetahui kejadian-kejadiannya.
B. PENGERTIAN-PENGERTIAN DASAR
TENTANG KEMANUSIAAN
Telah disebutkan di
muka, bahwa manusia adalah puncak ciptaan, merupakan makhluk yang tertinggi dan
adalah wakil dari Tuhan di bumi. Sesuatu yang membuat manusia yang menjadi
manusia bukan hanya beberapa sifat atau kegiatan yang ada padanya, melainkan
suatu keseluruhan susunan sebagai sifat-sifat dan kegiatan-kegiatan yang khusus
dimiliki manusia saja yaitu Fitrah. Fitrah membuat manusia berkeinginan suci
dan secara kodrati cenderung kepada kebenaran (Hanief).
“Dlamier” atau hati
nurani adalah pemancar keinginan pada kebaikan, kesucian dan kebenaran. Tujuan
hidup manusia adalah kebenaran yang mutlak atau kebenaran yang terakhir, yaitu
Tuhan Yang Maha Esa. Fitrah merupakan bentuk keseluruhan tentang diri manusia
yang secara asasi dan prinsipil membedakannya dari makhluk-makhluk yang lain.
Dengan memenuhi hati nurani, seseorang berada dalam fitrahnya dan menjadi
manusia sejati.
Kehidupan dinyatakan
dalam kerja atau amal perbuatannya. Nilai-nilai tidak dapat dikatakan hidup dan
berarti sebelum menyatakan diri dalam kegiatan-kegiatan amaliah yang kongkrit.
Nilai hidup manusia tergantung kepada nilai kerjanya. Di dalam dan melalui amal
perbuatan yang berperikemanusiaan (fitrah sesuai dengan tuntutan hati nurani)
manusia mengecap kebahagiaan, dan sebaliknya di dalam dan melalui amal
perbuatan yang tidak berperikemanusiaan (jihad) ia menderita kepedihan. Hidup
yang penuh dan berarti ialah yang di jalani dengan sungguh-sungguh dan
sempurna, yang didalamnya manusia dapat mewujudkan dirinya dengan mengembangkan
kecakapan-kecakapan dan memenuhi keperluan-keperluannya. Manusia yang hidup
berarti dan berharga ialah dia yang merasakan kebahagiaan dan kenikmatan dalam
kegiatan-kegiatan yang membawa perubahan kearah kemajuan baik yang mengenai
alam maupun masyarakat yaitu hidup berjuang dalam arti yang seluas-luasnya. Dia
diliputi oleh semangat mencari kebaikan, keindahan dan kebenaran. Dia menyerap
segala sesuatu yang baru dan berharga sesuai dengan perkembangan kemanusiaan
dan menyatakan dalam hidup berperadaban dan berkebudayaan. Dia adalah aktif,
kreatif dan kaya akan kebijaksanaan (widom, hikmah).
Dia berpengalaman luas,
berpikir bebas, berpandangan lapang dan terbuka, bersedia mengikuti kebenaran
dari manapun datangnya. Dia adalah manusia toleran dalam arti kata yang benar,
penahan amarah dan pemaaf. Keutamaan itu merupakan kekayaan manusia yang
menjadi milik dari pada pribadi-pribadi yang senantiasa berkembang dan
selamanya tumbuh kearah yang lebih baik.
Seorang manusia sejati
(insan kamil) ialah yang kegiatan mental dan phisiknya merupakan suatu
keseluruhan. Kerja jasmani dan kerja rohani bukanlah dua kenyataan yang
terpisah. Malahan dia tidak mengenal perbedaan antara kerja dan kesenangan,
kerja baginya adalah kesenggangan dan kesenangan ada dalam dan melalui kerja.
Dia berkeperibadian, merdeka, memiliki dirinya sendiri, menyatakan ke luar
corak perorangannya dan mengembangkan kepribadian dan wataknya secara harmonis.
Dia tidak mengenal perbedaan antara kehidupan individu dan kehidupan komunal,
tidak membedakan antara perorangan dan sebagai anggota masyarakat, hak dan
kewajiban serta kegiatan-kegiatan untuk dirinya adalah juga sekaligus untuk
sesama ummat manusia.
Baginya tidak ada
pembagian dua (dichotomy) antara kegiatan-kegiatan rokhani dan jasmani, pribadi
dan masyarakat, agama dan politik maupun dunia akherat. Kesemuanya
dimanifestasikan dalam satu kesatuan kerja yang tunggal pancaran niatnya, yaitu
mencari kebaikan, keindahan dan kebenaran. Dia seorang yang ikhlas, artinya
seluruh amal perbuatannya benar-benar berasal dari dirinya sendiri dan
merupakan pancaran langsung dari pada kecenderungan yang suci dan murni. Suatu
pekerjaan dilakukan karena keyakinan akan nilai pekerjaan itu sendiri bagi
kebaikan dan kebenaran, bukan karena hendak memperoleh tujuan lain yang
nilainya lebih rendah (pamrih). Kerja yang ikhlas mengangkat nilai kemanusiaan
pelakunya dan memberikannya kebahagiaan. Hal itu akan menghilangkan sebab-sebab
suatu jenis pekerjaan ditinggalkan dan kerja amal akan menjadi kegiatan
kemanusiaan yang paling berharga. Keikhlasan adalah kunci kebahagiaan hidup
manusia, tidak ada kebahagiaan sejati tanpa keikhlasan dan keikhlasan selalu
menimbulkan kebahagiaan.
Hidup fitrah ialah
bekerja secara ikhlas yang memancarkan dari hati nurani yang hanief atau suci.
C. KEMERDEKAAN MANUSIA (IKHTIAR)
DAN KEHARUSAN UNIVERSAL (TAKDIR)
Keikhlasan yang insani
itu tidak mungkin ada tanpa kemerdekaan. Kemerdekaan dalam arti kerja secara
sukarela tanpa paksaan yang di dorong oleh kemauan yang murni, kemerdekaan
dalam pengertian kebebasan memilih sehingga pekerjaan itu benar-benar dilakukan
sejalan dengan hati nurani. Keikhlasan merupakan pernyataan kreatif kehidupan
manusia yang berasal dari perkembangan tak terkekang daripada kemauan baiknya.
Keikhlasan adalah gambaran terpenting daripada kehidupan manusia sejati.
Kehidupan sekarang di dunia dan abadi (external) berupa kehidupan kelak sesudah
mati di akherat. Dalam aspek pertama manusia melakukan amal perbuatan dengan baik
dan buruk yang harus dipikul secara individual, dan komunal sekaligus.
Sedangkan dalam aspek kedua manusia tidak lagi melakukan amal perbuatan,
melainkan hanya menerima akibat baik dan buruknya dari amalnya dahulu di dunia
secara individual. Di akherat tidak terdapat pertanggung jawaban perseorangan
(mutlak). Manusia dilahirkan sebagai individu, hidup di tengah alam dan
masyarakat sesamanya, kemudian menjadi individu kembali.
Jadi individualitas
adalah pernyataan asasi yang pertama dan yang terakhir, dari pada kemanusiaan,
serta letak kebenarannya dari pada nilai kemanusiaan itu sendiri. Karena
individu adalah penanggung jawab terakhir dan mutlak dari pada awal
perbuatannya, maka kemerdekaan pribadi adalah haknya yang pertama dan asasi.
Tetapi individualitas
hanyalah pernyataan yang asasi dan primer saja dari pada kemanusiaan. Kenyataan
lain, sekalipun sifat sekunder ialah bahwa individu dalam suatu hubungan
tertentu dengan dunia sekitarnya. Manusia hidup di tengah alam sebagai makhluk
social hidup di tengah sesama. Dari segi ini manusia adalah bagian dari
keseluruhan alam yang merupakan satu kesatuan. Oleh karena itu kemerdekaan
harus diciptakan untuk pribadi dalam konteks hidup di tengah masyarakat.
Sekalipun kemerdekaan adalah esensi dari pada kemanusiaan, tidak berarti bahwa
manusia selalu dan dimana saja merdeka. Adanya batas-batas dari kemerdekaan
adalah suatu kenyataan. Batas-batas tertentu dikarenakan adanya hukum-hukum
yang pasti dan tetap menguasai alam. Hukum yang menguasai benda-benda maupun masyarakat
manusia sendiri yang tidak tunduk dan tidak pula bergantung kepada kemauan
manusia. Hukum-hukum itu mengakibatkan adanya “keharusan universal” atau
“kepastian hukum” dan takdir. Jadi kalau
kemerdekaan pribadi di wujudkan dalam kontek hidup di tengah alam dan
masyarakat dimana terdapat keharusan universal yang tidak tertaklukan, maka
apakah bentuk yang harus di punyai oleh seseorang kepada dunia sekitarnya?
Sudah tentu bukan
hubungan penyerahan, sebab penyerahan berarti peniadaan terhadap kemerdekaan
itu sendiri. Pengakuan akan adanya keharusan universal yang diartikan sebagai
penyerahan kepadanya sebelum suatu usaha dilakukan berarti perbudakan.
Pengakuan akan adanya kepastian hukum atau takdir hanyalah pengakuan akan
adanya batas-batas kemerdekaan. Sebaliknya suatu persyaratan yang positif
daripada kemerdekaan adalah pengetahuan tentang adanya kemungkinan-kemungkinan
kreatif manusia. Yaitu tempat bagi adanya usaha yang bebas dan dinamakan
“ikhtiar” artinya pilih merdeka.
Ikhtiar adalah kegiatan
kemerdekaan dari individu, juga berarti kegiatan dari manusia merdeka. Ikhtiar
merupakan usaha yang ditentukan sendiri dimana manusia berbuat sebagai pribadi
banyak segi yang integral dan bebas, dan dimana manusia tidak diperbudak oleh
suatu yang lain kecuali oleh keinginannya sendiri dan kecintaannya kepada
kebaikan. Tanpa adanya kesempatan untuk berbuat atau berikhtiar, manusia
menjadi tidak merdeka dan menjadi tidak bisa dimengerti untuk memberikan
pertanggungjawaban pribadi dari amal perbuatannya. Kegiatan merdeka berarti
perbuatan manusia yang merubah dunia dan dirinya sendiri. Jadi sekalipun
terdapat keharusan universal atau takdir manusia dengan haknya untuk berikhtiar
mempunyai peranan aktif dan menentukan bagi dunia dan dirinya sendiri.
Manusia tidak dapat
berbicara mengenai takdir suatu kejadian sebelum kejadian itu menjadi
kenyataan. Maka percaya kepada takdir akan membawa keseimbangan jiwa tidak
terlalu berputus asa karena suatu kegagalan dan tidak perlu membanggakan diri
karena suatu kemunduran. Sebab segala sesuatu tidak hanya terkandung pada
dirinya sendiri, melainkan juga kepada keharusan yang universal itu.
D. KETUHANAN YANG MAHA ESA DAN
KEMANUSIAAN
Telah jelas bahwa
hubungan yang benar antara individu manusia dengan dunia sekitarnya bukan hubungan
penyerahan. Sebab penyerahan meniadakan kemerdekaan dan keikhlasan dan
kemanusiaan. Tetapi jelas pula bahwa tujuan manusia hidup merdeka dengan segala
kegiatannya ialah kebenaran. Oleh karena itu sekalipun tidak tunduk pada
sesuatu apapun dari dunia sekelilingnya, namun manusia merdeka masih dan mesti
tunduk kepada kebenaran. Karena menjadikan sesuatu sebagai tujuan adalah
berarti pengabdian kepada-Nya.
Jadi
kebenaran-kebenaran menjadi tujuan hidup dan apabila demikian maka sesuai
dengan pembicaraan terdahulu maka tujuan hidup yang terakhir dan mutlak ialah
kebenaran terakhir dan mutlak sebagai tujuan dan tempat menundukkan diri.
Adakah kebenaran terakhir dan mutlak itu?. Ada, sebagaimana tujuan akhir dan
mutlak daripada hidup itu ada. Karena sikapnya yang terakhir (ultimate) dan
mutlak maka sudah pasti kebenaran itu hanya satu secara mutlak pula.
Dalam perbendaharaan
kata dan kulturiil, kita sebut kebenaran mutlak itu “Tuhan”, kemudian sesuai
dengan uraian bab I, Tuhan itu menyatakan diri kepada manusia sebagai Allah
karena kemutlakannya, Tuhan bukan saja tujuan segala kebenaran. Maka dia adalah
Yang Maha Benar. Setiap pikiran yang maha benar adalah pada hakekatnya pikiran
tentang Tuhan YME. Oleh sebab itu seseorang manusia merdeka ialah yang ber-ketuhanan
Yang Maha Esa. Keikhlasan tiada lain adalah kegiatan yang dilakukan semata-mata
bertujuan kepada Tuhan YME, yaitu kebenaran mutlak, guna memperoleh persetujuan
atau “ridho” dari pada-Nya. Sebagaimana kemanusiaan terjadi karena adanya
kemerdekaan dan kemerdekaan ada karena adanya tujuan kepada Tuhan semata-mata.
Hal itu berarti segala bentuk kegiatan hidup dilakukan hanyalah karena nilai
kebenaran itu yang terkandung didalamnya guna mendapat persetujuan atau ridho
kebenaran mutlak. Dan hanya pekerjaan “karena Allah” itulah yang bakal
memberikan rewarding bagi kemanusiaan. Kata “iman” berarti percaya dalam hal
ini percaya kepada Tuhan sebagai tujuan hidup yang mutlak dan tempat
mengabdikan diri kepadaNya. Sikap menyerahkan diri dan mengabdi kepada Tuhan
itu disebut Islam. Islam menjadi nama segenap ajaran pengabdian kepada Tuhan
YME. Pelakunya di sebut “muslim”. Tidak lagi diperbudak oleh sesama manusia
atau sesuatu yang lain dari dunia sekelilingnya, manusia muslim adalah manusia
yang merdeka yang menyerahkan dan menyembahkan diri kepada Tuhan YME. Semangat
tauhid (memutuskan pengabdian hanya kepada Tuhan YME) menimbulkan kesatuan
tujuan hidup, kesatuan kepribadian dan kemasyarakatan. Kehidupan bertauhid
tidak lagi berat sebelah, parsial dan terbatas. Manusia bertauhid adalah
manusia yang sejati dan sempurna yang kesadaran akan dirinya tidak mengenal
batas.
Dia adalah pribadi
manusia yang sifat perorangannya adalah keseluruhan (totalitas) dunia
kebudayaan dan peradaban. Dia memiliki dunia ini dalam arti kata mengambil
bagian sepenuh mungkin dalam menciptakan dan menikmati kebaikan-kebaikan dan
peradaban kebudayaan.
Pembagian kemanusiaan
tidak selaras dengan dasar kesatuan kemanusiaan (human totality) itu antara
lain, ialah pemisahan antara eksistensi ekonomi dan moral manusia, antara
kegiatan duniawi dan ukhrowi antara tugas-tugas peradaban dan agama. Demikian
pula sebaliknya, anggapan bahwa manusia adalah tujuan pada dirinya membela
kemanusiaan seseorang menjadi: manusia sebagai pelaku kegiatan dan manusia
sebagai tujuan kegiatan. Kepribadian yang pecah berlawanan dengan kepribadian
kesatuan (human totality) yang homogen dan harmonis pada dirinya sendiri : jadi
berlawanan dengan kemanusiaan.
Oleh karena hakekat
hidup adalah amal perbuatan atau kerja, maka nilai-nilai tidak dapat dikatakan
ada sebelum menyatakan diri dalam kegiatan-kegiatan yang kongkrit dan
nyata. Kecintaan kepada Tuhan sebagai
kebaikan, keindahan dan kebenaran yang mutlak dengan sendirinya memancar dalam
kehidupan sehari-hari dalam hubungannya dengan alam dan masyarakat berupa
usaha-usaha yang nyata guna menciptakan sesuatu yang membawa kebaikan,
keindahan dan kebenaran bagi sesama manusia “amal saleh” (harafiah: pekerjaan
yang selaras dengan kemanusiaan) merupakan pancaran langsung daripada iman.
Jadi Ketuhanan YME memancar dalam perikemanusiaan. Sebaliknya karena
kemanusiaan adalah kelanjutan kecintaan kepada kebenaran maka tidak ada
perikemanusiaan tanpa Ketuhanan YME. Perikemanusiaan tanpa Ketuhanan adalah
tidak sejati. Oleh karena itu semangat ketuhanan YME dan semangat mencari ridho
daripada-Nya adalah dasar peradaban yang benar dan kokoh. Dasar selain itu
pasti goyah dan akhirnya membawa keruntuhan peradabannya. “Syirik” merupakan
kebalikan dari tauhid, secara harafiah artinya mengadakan tandingan, dalam hal
ini kepada Tuhan. Syirik adalah sifat menyerah dan menghambakan diri kepada
sesuatu selain kebenaran baik kepada sesama manusia maupaun alam. Karena
sifatnya yang meniadakan kemerdekaan asasi, syirik merupakan kejahatan terbesar
kepada kemanusiaan. Pada hakekatnya segala bentuk kejahatan dilakukan orang
karena syirik. Sebab dalam melakukan kejahatan itu dia menghambakan diri kepada
motif yang mendorong dilakukannya kejahatan tersebut yang bertentangan dengan
prisip-prinsip kebenaran. Demikian pula karena syirik seseorang mengadakan
pamrih atas pekerjaan yang di lakukannya. Dia bekerja bukan karena nilai
pekerjaan itu sendiri dalam hubungannya dengan kebaikan, keindahan dan
kebenaran, tetapi karena hendak memperoleh sesuatu yang lain.
“Musyrik” adalah pelaku
daripada syirik. Seseorang menghambakan diri kepada sesuatu selain Tuhan baik
manusia maupun alam di sebut musyrik, sebab dia mengangkat sesuatu selain Tuhan
menjadi setingkat dengan Tuhan. Demikian pula seseorang yang menghambakan
(sebagaimana dengan jiran atau dictator) adalah musyrik, sebab dia mengangkat
dirinya sendiri setingkat dengan Tuhan.
Kedua perlakuan itu
merupakan penentang terhadap kemanusiaan, baik bagi dirinya sendiri maupun
kepada orang lain. Maka sikap berperikemanusiaan adalah sikap yang adil, yaitu
sikap menempatkan sesuatu kepada tempatnya yang wajar, seseorang yang adil
(wajar) ialah yang memandang manusia. Tidak melebihkan sehingga menghambakan
dirinya kepada-Nya. Dia selalu menyimpan I’tikad baik dan lebih baik (ikhsan)
maka kebutuhan menimbulkan sikap yang adil kepada manusia.
E. INDIVIDU DAN MASYARAKAT
Telah diterangkan di
muka, bahwa pusat kemanusiaan adalah masing-masing pribadinya dan bahwa
kemerdekaan pribadi adalah hak asasinya yang pertama. Tidak sesuatu yang lebih
berharga dari pada kemerdekaan itu. Juga telah dikemukakan bahwa manusia hidup
dalam bentuk hubungan tertentu. Maka dalam masyarakat itulah kemerdekaan asasi
diwujudkan. Justru karena adanya kemerdekaan pribadi itu maka timbul perbedaan-perbedaan
antara suatu pribadi dengan lainnya. Sebenarnya perbedaan-perbedaan itu adalah
untuk kebaikannya sendiri: sebab kenyataan yang penting dan prinsipil, ialah
bahwa kehidupan ekonomi, social dan cultural mengkhendaki pembagian kerja yang
berbeda-beda.
Pemenuhan suatu bidang
kegiatan guna kepentingan masyarakat adalah suatu keharusan, sekalipun hanya
oleh sebagian anggota saja. Namun sejalan dengan prinsip kemanusiaan dan
kemerdekaan, dalam kehidupan yang teratur tiap-tiap orang harus diberi kesempatan
untuk mengembangkan kecakapannya melalui aktifitas dan kerja yang sesuai dengan
kecenderungannya dan bakatnya. Namun inilah kontradiksi yang ada pada manusia
dia adalah makhluk yang sempurna dengan kecerdasan dan kemerdekaannya dapat
berbuat baik kepada sesamanya, tetapi pada waktu yang sama ia merasakan adanya
pertentangan yang konstan dan keinginan tak terbatas sebagai hawa nafsu. Hawa
nafsu cenderung kearah merugikan orang lain (kejahatan) dan kejahatan dilakukan
orang karena mengikuti hawa nafsu. Ancaman atas kemerdekaan masyarakat dan
karena itu juga berarti ancaman terhadap kemerdekaan pribadi anggotannya ialah
keinginan tak terbatas atau hawa nafsu tersebut, maka selain kemerdekaan,
persamaan hak antara sesama manusia adalah esensi kemanusiaan yang harus
ditegakkan. Realisasi persamaan dicapai dengan membatasi kemerdekaan.
Kemerdekaan tak terbatas hanya dapat dipunyai satu orang, sedangkan untuk lebih
satu orang, kemerdekaan tak terbatas tidak dilaksanakan dalam waktu yang
bersamaan, kemerdekaan seseorang dibatasi dengan kemerdekaan orang lain.
Pelaksanaan kemerdekaan tak terbatas hanya berarti pemberian kemerdekaan kepada
pihak yang kuat atas yang lemah (perbudakan dalam segala bentuknya), sudah
tentu hak itu bertentangan dengan prinsip keadilan. Kemerdekaan dan keadilan
merupakan dua nilai yang saling menopang. Sebab harga diri manusia terletak
pada adanya hak bagi orang lain untuk mengembangkan kepribadiannya. Sebagai
kawan hidup dengan tingkat yang sama. Anggota masyarakat harus saling menolong dalam
membentuk masyarakat yang bahagia.
Sejarah dan
perkembangannya bukanlah suatu yang tidak mungkin dirubah. Hubungan yang benar
antara manusia dengan sejarah bukanlah penyerahan yang pasif, tetapi sejarah
ditentukan oleh manusia sendiri. Tanpa pengertian ini adanya azab Tuhan (akibat
buruk) dan pahala (akibat baik) bagi satu amal perbuatan mustahil ditanggung
manusia.
Manusia merasakan
akibat amal perbuatannya sesuai dengan ikhtiar. Dalam hidup ini (dalam sejarah)
dalam hidup kemudian (sesudah sejarah). Semakin seseorang bersungguh-sungguh
dalam kekuatan yang bertanggung jawab dengan kesadaran yang terus menerus akan
tujuan dalam membentuk masyarakat semakin ia mendekati tujuan.
Manusia mengenali
dirinya sebagai makhluk yang nilai dan martabatnya dapat sepenuhnya dinyatakan,
jika ia mempunyai kemerdekaan tidak saja mengatur hidupnya sendiri tetapi juga
untuk memperbaiki dengan sesama manusia dalam lingkungan masyarakat. Dasar
hidup gotong-royong ini ialah keistimewaan dan kecintaan sesama manusia dalam
pengakuan akan adanya persamaan dan kehormatan bagi setiap orang.
F. KEADILAN SOSIAL DAN KEADILAN
EKONOMI
Telah kita bicarakan
tentang hubungan antara individu dengan masyarakat dimana kemerdekaan dan
pembatas kemerdekaan saling bergantungan, dan dimana perbaikan kondisi
masyarakat tergantung pada perencanaan manusia dan usaha-usaha bersamanya. Jika
kemerdekaan dicirikan dalam bentuk yang tidak bersyarat (kemerdekaan tak
terbatas) maka sudah terang bahwa setiap orang diperbolehkan mengejar dengan
bebas segala keinginan pribadinya. Akibatnya pertarungan keinginan yang
bermacam-macam itu satu sama lain dalam kekacauan atau anarchi. Sudah barang
tentu menghancurkan masyarakat dan meniadakan kemanusian sebab itu harus
ditegakkan keadilan dalam masyarakat. Siapakah yang harus menegakkan keadilan
di dalam masyarakat? Sudah barang pasti ialah masyarakat sendiri, tetapi dalam
prakteknya diperlukan adanya satu kelompok dalam masyarakat yang karena
kualitas-kualitas yang dimilikinya senantiasa mengadakan usaha-usaha menegakkan
keadilan itu dengan jalan selalu menganjurkan sesuatu yang bersifat kemanusiaan
serta mencegah terjadinya sesuatu yang berlawanan dengan kemanusiaan.
Kualitas yang harus
dipunyai, rasa kemanusiaan yang tinggi sebagai pancaran kecintaan yang tak
terbatas pada Tuhan. Di samping itu diperlukan kecakapan yang cukup. Kelompok
orang-orang itu adalah pemimpin masyarakat. Memimpin adalah menegakkan
keadilan, menjaga agar setiap orang memperoleh hak asasinya dan dalam jangka
waktu yang sama menghormati kemerdekaan orang lain dan martabat kemanusiaannya
sebagai manifestasi kesadarannya akan tanggung jawab sosial.
Negara adalah bentuk
masyarakat yang terpenting dan pemerintah adalah susunan masyarakat yang
terkuat dan berpengaruh. Oleh sebab itu pemerintah yang pertama berkewajiban
menegakkan keadilan. Maksud semula dan fundamental daripada didirikannya negara
dan pemerintah guna melindungi manusia yang menjadi warga negara daripada
kemungkinan perusakkan terhadap kemerdekaan dan harga diri sebagai manusia
sebaliknya setiap orang mengambil bagian pertanggungjawaban dalam
masalah-masalah atas dasar persamaan yang diperoleh melalui demokrasi.
Pada dasarnya
masyarakat dengan masing-masing pribadi yang ada di dalamnya haruslah
memerintah dan memimpin diri sendiri. Oleh karena itu pemerintah haruslah
merupakan kekuatan pimpinan yang lahir dari masyarakat sendiri. Pemerintah
haruslah demokratis, berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat,
menjalankan kebijaksanaan atas persetujuan rakyat berdasarkan musyawarah dan
dimana keadilan dan martabat kemanusiaan tidak terganggu. Kekuatan yang
sebenarnya di dalam negara ada ditangan rakyat, dan pemerintah harus
bertanggung jawab kepada rakyat.
Menegakkan keadialan
mencakup penguasaan atas keinginan-keinginan dan kepentingan-kepentingan
pribadi yang tak mengenal batas (hawa nafsu) adalah kewajiban dari negara
sendiri dan kekuatan-kekuatan sosial untuk menjunjung tinggi prinsip
kegotongroyongan dan kecintaan sesama manusia. Menegakkan keadilan amanat
rakyat kepada pemerintah yang musti dilaksanakan. Disadari oleh sikap hidup
yang benar, ketaatan kepada pemerintah termasuk dalam lingkungan ketaatan kepada Tuhan (kebenaran
mutlak). Pemerintah yang benar dan harus ditaati ialah mengabdi kepada
kemanusiaan, kebenaran dan akhirnya kepada Tuhan YME.
Perwujudan menegakkan
keadilan yang terpenting dan berpengaruh ialah menegakkan keadilan di bidang
ekonomi atau pembagiaan kekayaan diantara anggota masyarakat. Keadilan menuntut
agar setiap orang dapat bagian yang wajar dari kekayaan atau rejeki. Dalam
masyarakat yang tidak mengenal batas-batas individual, sejarah merupakan
perjuangan dialektis yang berjalan tanpa kendali dari pertentangan-pertentangan
golongan yang didorong oleh ketidakserasian antara pertumbuhan kekuatan
produksi disatu pihak dan pengumpulan kekayaan oleh golongan-golongan kecil
dengan hak-hak istimewa dilain pihak. Karena kemerdekaan tak terbatas mendorong
timbulnya jurang-jurang pemisah antara kekayaan dan kemiskinan yang semakin
mendalam. Proses selanjutnya yaitu bila sudah mencapai batas maksimal
pertentangan golongan itu akan menghancurkan sendi-sendi tatanan sosial dan
membinasakan kemanusiaan dan peradabannya.
Dalam masyarakat yang
tidak adil, kekayaan dan kemiskinan akan terjadi dalam kualitas dan proporsi
yang tidak wajar sekalipun realitas selalu menunjukkan perbedaan-perbedaan
antara manusia dalam kemampuan fisik maupun mental namun dalam kemiskinan dalam
masyarakat dengan pemerintah yang tidak menegakkan keadilan adalah keadilan yang merupakan perwujudan
dari kezaliman. Orang-orang kaya menjadi pelaku daripada kezaliman sedangkan
orang-orang miskin dijadikan sasaran atau korbannya. Oleh karena itu sebagai
yang menjadi sasaran kezaliman, orang-orang miskin berada di pihak yang benar.
Pertentangan antara kaum miskin menjadi pertentangan antara kaum yang
menjalankan kezaliman dan yang dizalimi. Dikarenakan kebenaran pasti menang
terhadap kebhatilan, maka pertentangan itu disudahi dengan kemenangan tak
terhindar bagi kaum miskin, kemudian mereka memegang tampuk pimpinan dalam
masyarakat.
Kejahatan di bidang
ekonomi yang menyeluruh adalah penindasan oleh kapitalisme. Dengan kapitalisme
dengan mudah seseorang dapat memeras orang-orang yang berjuang mempertahankan
hidupnya karena kemiskinan, kemudian merampas hak-haknya secara tidak sah,
berkat kemampuannya untuk memaksakan persyaratan kerjanya dan hidup kepada
mereka. Oleh karena itu menegakkan keadilan mencakup pemberantasan kapitalisme
dan segenap usaha akumulasi kekayaan pada sekelompok kecil masyarakat. Sesudah
syirik, kejahatan terbesar kepada kemanusiaan adalah penumpukan harta kekayaan
beserta penggunaannya yang tidak benar, menyimpang dari kepentingan umum, tidak
mengikuti jalan Tuhan. Maka menegakkan keadilan inilah membimbing manusia
kearah pelaksanaan tata masyarakat yang akan memberikan kepada setiap orang
kesempatan yang sama untuk mengatur hidupnya secara bebas dan terhormat (amar
ma’ruf) dan pertentangan terus menerus terhadap segala bentuk penindasan kepada
manusia kepada kebenaran asasinya dan rasa kemanusiaan (nahi munkar). Dengan
perkataan lain harus diadakan restriksi-restriksi atau cara-cara memperoleh,
mungumpulkan, dan menggunakan kekayaan itu. Cara yang tidak bertentangan dengan
kemanusiaan diperbolehkan (yang ma’ruf dihalalkan) sedangkan cara yang
bertentangan dengan kemanusiaan dilarang (yang munkar diharamkan).
Pembagian ekonomi
secara tidak benar itu hanya ada dalam suatu masyarakat yang tidak menjalankan
prinsip ketuhanan YME, dalam hal ini pengakuan berketuhanan YME tetapi tidak
melaksanakannya sama nilainya dengan tidak berketuhanan sama sekali. Sebab
nilai-nilai yang tidak dapat dikatakan hidup sebelum menyatakan diri dalam amal
perbuatan yang nyata.
Dalam suatu masyarakat
yang tidak menjadikan Tuhan sebagai satu-satunya tempat tunduk dan menyerahkan
diri, manusia dapat diperbudaknya antara lain oleh harta benda. Tidak lagi
seorang pekerja menguasai hasil pekerjaannya, tetapi justru dikuasai oleh hasil
dari pekerjaan itu. Produksi seorang buruh memperbesar kapital majikan dan
kapital itu selanjutnya lebih memperbudak buruh. Demikian pula terjadi pada
majikan bukan ia menguasai kapital tetapi kapital itulah yang menguasainya.
Kapital atau kekayaan telah menggenggam dan memberikan sifat-sifat tertentu
seperti keserakahan, ketamakan dan kebengisan.
Oleh karena itu
menegakkan keadilan bukan saja dengan amar ma’ruf nahi munkar sebagaimana
diterangkan dimuka, tetapi juga melalui pendidikan yang intensif terhadap
pribadi-pribadi agar tetap mencintai kebenaran dan menyadari secara mendalam
akan adanya Tuhan. Sembahyang merupakan pendidikan yang continue, sebagai
bentuk formil peringatan kepada Tuhan. Sembahyang yang benar akan lebih efektif
dalam meluruskan dan membetulkan garis hidup manusia. Sebagaimana ia mencegah
kekejian dan kemungkaran. Jadi sembahyang merupakan penopang hidup yang benar.
Sembahyang menyelesaikan masalah-masalah kehidupan, termasuk pemenuhan
kebutuhan yang ada secara instrinsik pada rohani manusia yang mendalam, yaitu
kebutuhan spiritual berupa pengabdian yang bersifat mutlak.
Pengabdian yang tidak
tersalurkan secara benar kepada Tuhan YME tentu tersalurkan kearah sesuatu yang
lain. Dan membahayakan kemanusiaan.
Dalam hubungan itu
telah terdahulu keterangan tentang syirik yang merupakan kejahatan fundamental
terhadap kemanusiaan. Dalam masyarakat yang adil mungkin masih terdapat
pembagian manusia menjadi golongan kaya dan miskin. Tetapi hal itu terjadi
dalam batas-batas kewajaran dan kemanusiaan dengan pertautan kekayaan dan
kemiskinan yang mendekat. Hal itu sejalan dengan dibenarkannya pemilikan
pribadi (private ownership) atas harga kekayaan dan adanya perbedaan-perbedaan
tak terhindar daripada kemampuan-kemampuan pribadi, fisik maupun mental.
Walaupun demikian usaha-usaha ke arah perbaikan
dalam pembagian rejeki ke arah yang merata tetap harus dijalankan oleh
masyarakat. Dalam hal ini zakat adalah penyelesaian terakhir masalah perbedaan
kaya dan miskin itu. Zakat dipungut dari orang-orang kaya dalam jumlah
persentase tertentu untuk dibagikan kepada orang miskin.
Zakat dikenakan hanya
atas harta yang diperoleh secara benar, syah dan halal saja. Sedang harta
kekayaan yang haram tidak dikenakan zakat tetapi harus dijadikan milik umum
guna manfaat bagi rakyat dengan jalan penyitaan oleh pemerintah. Oleh karena
itu, sebelum penarikan zakat dilakukan terlebih dahulu harus dibentuk suatu
masyarakat yang adil berdasarkan Ketuhanan YME, dimana tidak lagi didapati cara
memperoleh kekayaan secara haram, dimana penindasan atas manusia oleh manusia
dihapus.
Sebagaimana ada
ketetapan tentang bagaimana harta kekayaan itu diperoleh, juga ditetapkan
bagaimana mempergunakan harta kekayaan itu. Pemilikan pribadi dibenarkan hanya
jika hanya digunakan hak itu tidak bertentangan, pemilikan pribadi menjadi
batal dan pemerintah berhak mengajukan konfikasi.
Seorang dibenarkan
mempergunakan harta kekayaan dalam batas-batas tertentu, yaitu dalam batas
tidak kurang tetapi juga tidak melebih rata-rata atau israf pertentangan dengan
perikemanusiaan. Kemewahan selalu menjadi provokasi terhadap pertentangan
golongan dalam masyarakat membuat akibat destruktif. Sebaliknya penggunaan
kurang dari rata-rata masyarakat (taqti) merusakkan diri sendiri dalam
masyarakat disebabkan membekunya sebagian dari kekayaan umum yang dapat
digunakan untuk manfaat bersama.
Hal itu semuanya
merupakan kebenaran karena pada hakekatnya seluruh harta kekayaan ini adalah
milik Tuhan. Manusia seluruhnya diberi hak yang sama atas kekayaan itu dan
harus diberikan bagian yang wajar dari padanya.
Pemilikan oleh
seseorang (secara benar) hanya bersifat relatif sebagaimana amanat dari Tuhan.
Penggunaan harta itu sendiri harus sejalan dengan yang dikehendaki Tuhan, untuk
kepentingan umum. Maka kalau terjadi kemiskinan, orang-orang miskin diberikan
hak atas sebagian harta orang-orang kaya, terutama yang masih dekat dalam
hubungan keluarga. Adalah kewajiban negara dan masyarakat untuk melindungi
kehidupan keluarga dan memberinya bantuan dan dorongan. Negara yang adil
menciptakan persyaratan hidup yang wajar sebagaimana yang diperlukan oleh
pribadi-pribadi agar diandan keluarganya dapat mengatur hidupnya secara
terhormat sesuai dengan keinginan-keinginannya untuk dapat menerima tanggung
jawab atas kegiatan-kegiatannya. Dalam prakteknya, hal itu berarti bahwa
pemerintah harus membuka jalan yang mudah dan kesempatan yang sama kearah
pendidikan, kecakapan yang wajar, kemerdekaan beribadah sepenuhnya dan
pembagian kekayaan bangsa yang pantas.
G. KEMAJUAN DAN ILMU PENGETAHUAN
Dari seluruh uraian
yang telah dikemukakan, dapatlah dikumpulkan dengan pasti bahwa inti dari pada
kemanusiaan yang suci adalah iman dan kerja kemanusiaan atau amal saleh iman
dalam pengertian kepercayaan akan adanya kebenaran mutlak yaitu Tuhan YME,
serta menjadikannya satu-satunya tujuan dan tempat pengabdian diri yang
terakhir dan mutlak. Sikap itu menimbulkan kecintaan tak terbatas pada
kebenaran, kesucian dan kebaikan yang menyatakan dirinya dalam sikap pri
kemanusiaan. Sikap pri kemanusian menghasilkan amal saleh, artinya amal yang
bersesuaian dengan dan meningkatkan kemanusiaan. Sebaik-baiknya manusia ialah
yang berguna untuk sesamanya. Tapi bagaimana hal itu harus dilakukan oleh
manusia?
Sebagaimana setiap
perjalanan kearah suatu tujuan ialah gerakan kedepan demikian pula perjalanan
ummat manusia atau sejarah adalah gerakan maju kedepan. Maka semua nilai dalam
kehidupan relatif adanya berlaku untuk suatu tempat dan suatu waktu tertentu.
Demikianlah segala
sesuatu berubah, kecuali tujuan akhir dari segala yang ada yaitu kebenaran
mutlak (Tuhan). Jadi semua nilai yang benar adalah bersumber atau dijabarkan
dari ketentuan-ketentuan hukum-hukum Tuhan. Oleh karena itu manusia berikhtiar
dan merdeka, ialah yang bergerak. Gerak itu tidak lain dari pada gerak maju
kedepan (progresif). Dia adalah dinamis, tidak statis. Dia bukanlah seorang
tradisional, apalagi reaksioner. Dia menghendaki perubahan terus menerus
sejalan dengan arah menuju kebenaran mutlak. Dia senantiasa mencari
kebenaran-kebenaran selama perjalanan hidupnya. Kebenaran-kebenaran itu menyatakan
dirinya dan ditemukan di dalam alam dari sejarah ummat manusia.
Ilmu pengetahuan adalah
alat manusia untuk mencari dan menemukan kebenaran-kebenaran dalam hidupnya,
sekalipun relatif namun kebenaran-kebenaran merupakan tonggak sejarah yang
mesti dilalui dalam perjalanan sejarah menuju kebenaran mutlak. Dan keyakinan
adalah kebenaran mutlak itu sendiri pada suatu saat dapat dicapai oleh manusia,
yaitu ketika mereka telah memahami benar seluruh alam dan sejarahnya sendiri.
Jadi ilmu pengetahuan
adalah persyaratan dari amal soleh. Hanya mereka yang dibimbing oleh ilmu
pengetahuan dapat berjalan di atas kebenaran-kebenaran, yang menyampaikan
kepada kepatuhan tanpa reserve kepada Tuhan YME. Dengan iman dan kebenaran ilmu
pengetahuan manusia mencapai puncak kemanusiaan yang tinggi.
Ilmu pengetahuan ialah
pengertian yang dipunyai oleh manusia secara benar tentang dunia sekitarnya dan
dirinya sendiri. Hubungan yang benar antara manusia dan alam sekelilingnya
ialah hubungan dan pengarahan. Manusia harus menguasai alam dan masyarakat guna
dapat mengarahkannya kepada yang lebih baik. Penguasaan dan kemudian pengarahan
itu tidak mungkin dilaksanakan tanpa pengetahuan tentang hukum-hukumnya agar
dapat menguasai dan menggunakannya bagi kemanusiaan. Sebab alam tersedia bagi
umat manusia bagi kepentingan pertumbuhan kemanusiaan. Hal itu tidak dapat
dilakukan kecuali mengerahkan kemampuan intelektualitas atau rasio. Demikian
pula manusia harus memahami sejarah dengan hukum-hukum yang tetap. Hukum
sejarah yang tetap (sunatullah untuk sejarah) yaitu garis besarnya ialah bahwa
manusia akan menemui kejayaan jika setia kepada kemanusiaan fitrinya dan
menemui kehancuran jika menyimpang dari padanya dengan menuruti hawa nafsu.
Tetapi cara-cara
perbaikan hidup sehingga terus-menerus maju kearah yang lebih baik sesuai
dengan fitrah adalah masalah pengalaman. Pengalaman ini harus ditarik dari masa
lampau, untuk dapat mengerti masa sekarang dan memperhitungkan masa yang akan
datang. Menguasai dan mengarahkan masyarakat ialah mengganti kaidah-kaidah
umumnya dan membimbingnya kearah kemajuan dan perbaikan.
H. KESIMPULAN DAN PENUTUP
Dari seluruh uraian yang telah lalu dapatlah
diambil kesimpulan secara garis besar sbb:
- hidup yang benar dimulai dengan percaya atau iman kepada Tuhan. Tuhan YME dan keinginan mendekat serta kecintaan kepada-Nya yaitu takwa. Iman dan takwa bukanlah nilai yang statis dan abstrak. Nilai-nilai itu memancar dengan sendirinya dalam bentuk kerja nyata bagi kemanusiaan dan amal saleh. Iman tidak memberi arti apa-apa bagi manusia jika tidak disertai dengan usaha-usaha dan kegiatan-kegiatan yang sungguh-sungguh untuk menegakkan perikehidupan yang benar dalam peradaban dan berbudaya.
- iman dan takwa dipelihara dan diperkuat dengan melakukan ibadah atau pengabdian formil kepada Tuhan, ibadah mendidik individu agar tetap ingat dan taat kepada Tuhan dan berpegang teguh kepada kebenaran sebagaimana dikehendaki oleh hati nurani yang hanif. Segala sesuatu yang menyangkut bentuk dan cara beribadah menjadi wewenang penuh dari pada agama tanpa adanya hak manusia untuk mencampurinya. Ibadat-ibadat yang terus menerus kepada Tuhan menyadarkan manusia akan kedudukannya di tengah alam dan masyarakat dan sesamanya. Ia telah melebihkan sehingga kepada kedudukan Tuhan dengan merugikan orang lain, dan tidak mengurangi kehormatan dirinya sebagai makhluk tertinggi dengan akibat perbudakan diri kepada alam maupun orang lain.
- kerja kemanusiaan atau amal saleh mengambil bentuknya yang utama dalam usaha yang sungguh-sungguh secara essensial menyangkut kepentingan manusia secara keseluruhan, baik dalam ukuran ruang maupun waktu yang menegakkan keadilan dalam masyarakat sehingga setiap orang memperoleh harga diri dan martabatnya sebagai manusia. Hal itu berarti usaha-usaha yang terus menerus harus dilakukan guna mengarahkan masyarakat kepada nilai-nilai yang baik, lebih maju dan lebih insani usaha itu ialah “amar ma’ruf” disamping usaha lain untuk mencegah segala bentuk kejahatan dan kemerosotan nilai-nilai kemanusiaan dan nahi munkar. Selanjutnya bentuk kerja kemanusiaan yang lebih nyata ialah pembelaan kaum lemah, kaum tertindaas dan kaum miskin pada umumnya serta usaha-usaha kearah peningkatan nasib dan taraf hidup mereka yang wajar dan layak sebagai manusia.
- kesadaran dan rasa tanggung jawab yang besar kepada kemanusiaan melahirkan jihad, yaitu sikap berjuang. Berjuang itu dilakukan dan ditanggung bersama oleh manusia dalam bentuk gotong royong atas dasar kemanusiaan dan kecintaan kepada Tuhan. Perjuangan menegakkan kebenaran dan keadilan menuntut ketabahan, kesabaran dan pengorbanan. Dan dengan jalan itulah kebahagian dapat diwujudkan dalam masyarakat manusia. Oleh sebab itu persyaratan bagi berhasilnya perjuangan adalah adanya barisan yang merupakan bangunan yang kokoh kuat. Mereka terikat satu sama lain oleh persudaraan dan solidaritas yang tinggi dan oleh sikap yang tegas kepada musuh-musuh dari kemanusiaan. Tetapi justru demi kemanusiaan mereka adalah manusia yang toleran. Sekalipun mengikuti jalan yang benar, mereka tidak memaksakan kepada orang lain atau golongan lain.
- kerja kemanusiaan atau amal saleh itu merupakan proses perkembangan yang permanent. Pejuang kemanusiaan berusaha mengarah kepada yang lebih baik, lebih benar. Oleh sebab itu manusia harus mengetahui arah yang benar dari pada perkembangan peradaban disegala bidang. Dengan perkataan lain, manusia harus mendalami dan selalu mempergunakan ilmu pengetahuan. Kerja manusia dan kerja kemanusiaan tanpa ilmu tidak akan mencapai tujuannya, sebaliknya ilmu tanpa rasa kemanusiaan tidak akan membawa kebahagiaan bahkan menghancurkan peradaban. Ilmu pengetahuan adalah karunia Tuhan yang besar artinya bagi manusia. Mendalami ilmu pengetahuan harus didasari oleh sikap terbuka. Mampu mengungkapkan perkembangan pemikiran tentang kehidupan berperadaban dan berbudaya. Kemudian mengambil dan mengamalkan diantaranya yang terbaik.
Dengan demikian tugas hidup manusia menjadi sangat sederhana yaitu
beriman, berilmu dan beramal.
Billahitaufiq Wal hidayah, Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
RUJUKAN
NILAI DASAR PERJUANGAN
HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM
I. DASAR-DASAR
KEPERCAYAAN
- Al-qur’an. S. An-nahl (XVI) 89, artinya : “dan kami (Tuhan) telah menurunkan kepada engkau (Muhammad) sebuah kitab (Al-qur’an) sebagai keterangan tentang segala sesuatu serta sebagai petunjuk, rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang muslim”.
- Al-qur’an. S. Al-ikhlas (CXII) : 1-4 artinya : “katakanlah : Dia adalah Tuhan Yang Maha Esa dia adalah Tuhan, Tuhan segala tempat harapan. Tiada ia berputra dan tiada pula berbapak serta tiada satupun baginya sepadan”.
- Al-qur’an. S. Al-hadid (LVII) : 3, artinya : “ Dia adalah yang pertama dan terakhir dan yang lahir dan bathin.”
- Al-qur’an. S. Al-baqarah (II) 115, artinya : “maka kemanapun jua berpaling, di sanalah wajah Tuhan”.
- Al-qur’an. S. Al-an’am (VI) : 73, artinya : “dan Dia (Tuhan) beserta kamu dimanapun kamu berada”.
- Al-qur’an. S. Al-an’am (VI) 73, artinya : “dan Dia (Tuhan) menciptakan segala sesuatu kemudian mengaturnya dengan peraturan yang pasti”
- Al-qur’an. S. Al-mu’min (XXIII) : 14, artinya : “maka Maha Mulialah Tuhan, sebaik-baiknya pencipta”.
- Al-qur’an. S. Luqman (XXXI) 20, artinya : “tidaklah kamu memperhatikan bahwa Allah menyediakan bagimu segala sesuatu yang ada di langit dan segala sesuatu yang ada di bumi dan melimpahkannya kepada kami karunia-karunia mendatar-Nya baik yang nampak maupun yang tidak nampak”.
- Al-qur’an. S. Yunus (X) 101, artinya : “katakanlah : perhatikan oleh mu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi, tanda-tanda dan peringatan itu tidak ada berguna bagi golongan manusia yang tidak percaya”.
- Al-qur’an. S. Shod (XXXVIII) 27, artinya : “tidak lah kamu (Tuhan) menciptakan langit dan bumi dan segala sesuatu yang ada di antara keduanya itu secara palsu hal itu hanyalah prasangka orang-orang kafir saja:.
- Al-qur’an. S. Al-tien (XCVO) 4, artinya : “sesungguhnya kami (Tuhan) telah menciptakan manusia-manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya:.
- Al-qur’an. S. Al-isra (XVII) 70, artinya : “dan kami lebih mereka itu (ummat manusia) di atas banyak dari segala sesuatu yang kami ciptakan dengan kelebihan yang nyata:.
- Al-qur’an. S. Al-an’am (VI) 165, artinya : “dan Dialah (Tuhan) yang menjadikan kamu sekalian (ummat manusia) sebagai khalifah-khalifah bumi, serta melebihkan sebahagian dari kamu atas sebahagian jalan yang bertingkat-tingkat untuk menguji kamu dalam hal-hal yang telah di uraikan kepada kamu. Sesungguhnya Tuhan cepat siksanya (akibat buruk dari padanya perbuatan manusia yang salah) dan dia pastilah Maha Pengampun dan Maha Penyayang (memberikan akibat baik atas perbuatan manusia yang benar)”.
- Al-qur’an. S. Hud (XI) 16, artinya : “Dia (Tuhan) menumbuhkan kamu (umat islam) dari bumi dan menyuruh kamu memakmurkannya:.
- Al-qur’an. S. Al-ahzab (XXXIII) 72, artinya : “sesungguhnya kamu (Tuhan) menawarkan semua amanah (akal pikiran) kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka mereka itu menolak untuk menanggungnya dan merasakan keberatan atas amanah itu, manusialah yang menanggung nya, sesungguhnya manusia mempersulit diri sendiri dan bodoh”.
- Al-qur’an. S. Al-ankabut (XXVII) 20, artinya : “katakanlah : mengembaralah kamu kemuka bumi, kemudian perhatikanlah olehmu bagaimana Allah memulai penciptaan-Nya kemudian mengembangkan pertumbuhan yang pertumbuhan sesungguhnya Allah itu Maha Kuasa atas segala sesuatu”.
- Al-qur’an. S. Al-qashash (XXVII) 20, artinya: “katakanlah : mengembaralah kamu ke muka bumi, kemudian perhatikanlah oleh mu bagaimana Allah memulai penciptaan-Nya kemudian mengembangkan pertumbuhan yang kemudian, sesungguhnya Allah itu maha kuasa atas segala sesuatu:.
- Al-qur’an. S. Al-isra (XVII) 72, artinya : “dan barang siapa di sini (dunia) buta (tidak berilmu), maka di akhirat nanti akan buta pula dan lebih sesat lagi jalannya”.
- Al-qur’an. S. Al-isra (XVII) 39, artinya : “dan janganlah engkau mengikuti sesuatu yang tidak engkau mempunyai pengertian tentang hal itu, sebab sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati nurani itu semuanya akan di mintai pertanggung jawaban atas hal itu”.
- Al-qur’an. S. Al-mujaadallah (LVII) 11, artinya : “Allah mengangkat orang-orang beriman dan berilmu bertingkat-tingkat”.
- Al-qur’an. S. Fushilat (I) artinya : “janganlah kamu bersujud kepada matahari ataupun bulan tetapi bersujud lah dengan Allah yang menciptakan”.
- Al-qur’an. S. Al-fatihah (I) artinya : “janganlah kamu bersujud kepada matahari ataupun bulan tetapi bersujudlah dengan Allah yang menciptakan”.
- Al-qur’an. S. Al-hajj (XXII) 56, artinya : “kerajaan hari itu hanyalah bagi Allah. Di mengadili antara manusia (suatu lukisan simbolis) “ bagi siapakah pekerjaan ini ? bagi Allah Yang Maha Perkasa dan Maha Esa”.
- Al-qur’an. S. Al-baqarah (II) 48, artinya : “dan berjaga-jagalah kamu sekalian terhadap masa dimana seseorang tidak sedikit pun membela orang-orang lain dan dimana tidak di terima suatu pertolongan dan suatu tebusan serta tidak pula itu membantunya”.
- Al-qur’an. S. Al-a’raf (II) 187, artinya : “maka bertanya kepada engkau (Muhammad) tentang hari kiamat kapan akan terjadi ? jawablah : sesungguhnya pengetahuan tentang hari kiamat itu hanya ada pada Tuhan. Tidak seorang pun dapat menjelaskan selain dari Dia Sendiri”.
II. PENGERTIAN
DASAR TENTANG KEMANUSIAAN
- Al-qur’an. S. Ar-rum (XXX) 30, artinya : “hadapkan dengan seluruh dirimu itu kepada agama (Islam) sebagaimana engkau adalah Hanief (secara kodrat melihat kebenaran, itulah fitrah Tuhan yang telah memfitrahkan manusia padanya”.
- Al-qur’an. S. Adz-dzariyat (XVL) 56, artinya : “Aku (Tuhan) tidak lah menciptakan jin dan manusia hanya untuk berbakti kepada-Ku”.
- Al-qur’an. S. At-taubah (IX) 105, artinya : “katakanalah, bekerjalah kamu sekalian ! Tuhan akan melihat kerjamu demikian juga Rasul-nya dan orang-orang beriman (masyarakat)”.
- Al-qur’an. S. At-taubah (IX) 105, artinya : “hai orang-orang yang beriman, mengapakah kamu mengadakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan ? besar dosanya bagi Tuhan jika kamu mengatakan sesuatu yang tidak baik kamu kerjakan”.
- Al-qur’an. S. An-nahl (IV) 3, artinya : “barang siapa yang berbuat baik laki-laki maupun perempuan sedangkan ia beriman, maka pastikan kami (Tuhan) berikan kepadanya hidup yang bahagia dan pastikan kami berikan pahala bagi mereka dengan sebaik-baiknya apa yang telah mereka perbuat”.
- Al-qur’an. S. Al-ankabut (XXIX) 6, artinya : “barang siapa yang berjuang maka ia berjuang untuk dirinya sendiri”.
- Al-qur’an. S. An-nisa (IV) 125, artinya : “siapakah yang lebih baik agama daripada orang yang menyerahkan diri dengan agama dari dengan seluruh pribadinya kepada Tuhan yang dan dia berbuat baik (cinta kebaikan) serta mengikuti ajaran Ibrahim secara hanief”.
- Al-qur’an. S. Az-zumar (XXXIV) 18, artinya : “mereka yang mendengarkan perkataan (pendapat) berusaha mengikuti yang terbaik (benar) dari padanya, mereka itulah yang mendapatkan petunjuk dari Tuhan dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai fikiran”.
- Al-qur’an. S. Al-baqarah (II) 26, artinya :”Tuhan memberikankebijaksanaan kepada siapa saja yang di khendaki-Nya. Maka barang siapa yang mendapatkan kebijaksanaan itu sesungguhnya dia memperoleh kebaikan yang melimpah. Dan tidak memikirkan itu kecuali orang-orang yang berasal”.
- Al-qur’an. S. Al-an’am (VI) 269, artinya :”barang siapa yang Tuhan khendaki untuk di berikan kepadanya petunjuk (kepada kebenaran), tetapi barang siapa yang di khendaki Tuhan untuk di sesatkan maka dadanya di jadikan sempit dan sesak, seakan-akan dia sedang naik ke langit”.
- Al-qur’an. S. Ali-imran (III) 123, artinya :”(orang yang bertakwa itu) mereka yang dapat menahan amarah, suka memaafkan kepada sesama manusia dan Tuhan cinta kepada orang-orang yang selalu berbuat baik”.
- Al-qur’an. S. Baiynah (XCVIII) 5, artinya : “mereka tidaklah di perintahkan kecuali untuk berbakti kepada Tuhan dengan mengikhlaskan agama (kebatinan) semata-mata kepada-Nya secara hanief (mencari kebenaran) menegakkan sembahyang mengeluarkan zakat, itulah jalan (agama) yang benar”.
- Al-qur’an. S. Al-baqarah (II) 28, artinya : “Tuhan memberikan kebijaksanaan kepada siapa saja yang di khendaki-Nya. Maka barang siapa yang mendapatkan kebijaksanaan itu sesungguhnya dia telah memperoleh kebaikan yang melimpah. Dan tidak memikirkan hal-hal itu kecuali orang-orang yang berasal”.
- Al-qur’an. S. Al-Insan (LXXVI) 8-9, artinya: “dan mereka itu memberikan makan kepada orang miskin anak-anak yatim dan orang tertawa atas dasar sukarela mereka berkata : kami memberikan makan kepada mu semata-mata hanya karena diri Tuhan (mencari ridho-Nya) bukan karena mengharapkan balasan atau ucapan terima kasih.
- dari kesimpulan dari gambaran surat Al-qur’an. S. Al-baqarah (II) 263, artinya :”hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menggugurkan sedekahnya dengan cacian dan celaan, sebagaimana orang yang mendermakan hartanya karena pamrih kepada sesame manusia serta tidak percaya kepada Tuhan dan hari kemudian. Maka perumpamaan baginya adalah seperti batu yang di atasnya ada debu dan kemudian di sapu oleh hujan dan batu itu tertinggal licin. Mereka itu sedikitpun menguasai apa yang telah mereka kerjakan.”
- Di simpulkan dari Al-qur’an. S. Fatir (XXXV) artinya: “Barang siapa mengkhendaki kemudian itu ada pada Tuhan, kepada-Nya ucapan yang baik menuju pekerjaan yang di angkat-Nya.”
III. KEMERDEKAAN
MANUSIA (IKHTIAR) DAN KEHARUSAN UNIVERSAL (TAQDIR)
- Tersimpul dalam Al-qur’an. S. Al-Anfal (VIII) artinya: “Berhati-hatilah kau terhadap mala petaka yang benar-benar tidaknya menimpa orang-orang jahat di antara kamu.”
- Al-qur’an. S. Al-Baqarah (II) 46, artinya: “Berhati-hatilah kamu sekalian akan hari (akhirat) dimana seseorang tidak dapat membela orang lain sedikit pun dan tidak pula di terima pertolongan dan tebusan daripadanya serta tidak pula orang-orang itu di Bantu.”
- Al-qur’an. S. Lukman (XXXI) 46 artinya : “ingatlah selalu akan hari (kiamat) dimana seorang ayah tidak menanggung anaknya dan tidak pula seorang anak menanggung ayahnya sedikitpun.”
- Al-qur’an. S. Al-Hadid (XVII) 22, artinya : “ tidak lah terjadi sesuatu kejadianpun di muka bumi ini dan pada diri kamu sekalian (masyarakat) melainkan ada dalam catatan sebelum kamu beberkan. Sesungguhnya hal itu bagi Tuhan merupakan perkara yang mudah.”
- Al-qur’an. S. Ar-Ra’d (XII), artinya : “ Sesungguhnya Tuhan tidak merubah sesuatu (nasib) yang ada pada sesuatu bangsa sehingga mereka merubah sendiri apa yang ada pada diri (jiwa) mereka.”
- Al-qur’an. S. Al-Hadid, artinya : “ Agar kamu tidak putus asa kemalangan yang menimpa dan tidak pula terlalu bersuka ria dengan kemajuan yang akan datang padamu.”
IV. KETUHANAN
YANG MAHA ESA DAN PERIKEMANUSIAAN
- Al-qur’an. S. Lukman (XXXI) 30, artinya : “ Demikianlah sebab sesungguhnya Tuhan itulah kebenaran, sedang apa yang mereka suka selain-Nya adalah kepalsuan dan sesungguhnya Tuhan itu Maha Tinggi dan Maha Agung.”
- Al-qur’an. S. Ali-Imran (III) 6, artinya : “ Tidak lagi seorang pun suatu kebahagian itu di anugerahkan oleh-Nya (Tuhan) kecuali (amal perbuatan) semata-mata untuk mencari (ridho) Tuhan Yang Maha Tinggi, dan tentulah ia akan meridhoinya.”
- Al-qur’an. S. Ali-Imran (III) 19, artinya : “ Sesungguhnya agama itu bagi Tuhan adalah penyerahan diri (Islam).”
- Al-qur’an. S. Al-Ahzab (XXXIII) 49, artinya : “ mereka yang menyampaikan ajaran-ajaran Tuhan dan tidak menghambakan dirinya kepada siapapun selain kepada Tuhan dan cukuplah Tuhan yang memperhitungkan (amal mereka).”
- Al-qur’an. S. Asy-Syu’ara (XXVI) 226, artinya : “ Dan sesungguhnya mereka itu mengatakan hal-hal yang mereka tidak kerjakan.”
- Tentang rangkaian yang tidak terpisahkan dari pada iman dan amal saleh dapat di lihat dari pengulangan tidak kurang dari lima puluh kali kata-kata Aamu wa’amilus shaihat dan terdapat dimana-mana dalam Al-Qur’an.
- Al-qur’an. S. Ann-Nur (XXVI) 39, artinya : “ Orang-orang kafir itu amal dan perbuatannya bagaikan fata morgana di suatu lembah. Orang yang kehausan mengirimnya air, tetapi setelah di tanda tanganinya tidak di dapatinya sesuatu pun.”
- Al-qur’an. S. Al-Baqarah (II) 109, artinya : “ Apakah orang yang mendirikan bangunannya di atas dasar taqwa kepada Tuhan dan mencari ridho-Nya itu lebih baik, ataukah orang yang mendirikan bangunan nya pada tepi jurang yang retak kemudian roboh bersamanya masuk neraka jahanam.”
- Al-qur’an. S. Lukman (XXXI) 13, artinya : “ sesungguhnya syirik itu kesalahan yang besar.”
- Imam tidak mungkin bercampur dengan kejahatan, sebagaimana tersimpul dalam Al-qur’an. S. Al-An’am (VI) 84, artinya : “ Mereka yang beriman dan tidak mencampur iman mereka dengan kejahatan, mereka itulah yang mendapatkan petunjuk.”
- Hadist, artinya : “Sesungguhnya yang paling mengkhawatirkan sekalian ialah syirik kecil yaitu ria (pamrih).”
- Di simpulkan dari titik perpisahan antara orang-orang kafir pemegang kitab suci (Kristen dan yahudi) dalam Al-qur’an. S. Ali-Imran (III) 64, artinya : “ Katakanlah : hai orang-orang yang memegang Kitab Suci Kristen dan Yahudi marilah kamu sekalian menuju titik persamaan antara kami (Ummat Islam) dan kamu, yaitu kita tidak mengabdi kecuali kepada Tuhan Yang Maha Esa kita tidak sedikit pun membuat syirik kepada-Nya dan tidak pula sebagian kita mengangkat sebagian yang lain menjadi Tuhan –tuhan (dengan kekuasaan dan wewenang seperti dan Tuhan Yang Maha Esa) selain Tuhan Yang Maha Esa, kemudian jika mereka mengejek katakanlah : jadilah kamu sekalian sebagai saksi kepada Tuhan saja.”
- Al-qur’an. S. An-Nahl (XVI) 90, artinya : “ Sesungguhnya Tuhan memerintahkan untuk menegakkan keadilan dan mengusahakan perbaikan.”
V. INDIVIDU DAN
MASYARAKAT
1.
Al-qur’an. S.
Az-Zakhruf (XLII) artinya : “ Kami (Tuhan) membagi-bagi di antara mereka
manusia kehidupan mereka di dunia.”
2.
Al-qur’an. S.
Al-Maidah (V) 48, artinya : “ bagi setiap golongan di antara kamu ialah kamu
tetapkan suatu cara dan jalan hidup tertentu.”
3.
Al-qur’an. S.
Al-Lail (XCII) 4, artinya : “ Sesungguhnya usahamu sekalian (manusia) sangat
beraneka ragam.”
4.
Al-qur’an. S.
Al-Isra (XVII) 84, artinya : “Katakanlah : Setiap orang bekerja sesuai dengan
pembawaannya sebenarnya Tuhanmulah pula yang lebih mengetahui siapa yang lebih
benar kalau hidupnya.”
5.
Al-qur’an. S.
Az-Zumar (XXXIX) 39,artinya : “ Katakanlah : Hai kaumku, bekerjalah sesuai
dengan keadaanmu, sesungguhnya aku akan bekerja (pula), maka kelak kamu akan
mengetahuinya.”
6.
Al-qur’an. S.
Yusuf (XII) 53, artinya : “ Bergotong-royonglah kamu sekalian dalam kebaikan
dan taqwa dan janganlah kamu bergotong-royong dalam kejahatan dan permusuhan.”
7.
Al-qur’an. S.
Al-Maidah (V) 2, artinya : “Bergotong-royonglah kamu sekalian dalam kebaikan
dan taqwa dan janganlah kamu bergotong-royong dalam kejahatan dan permusuhan.”
8.
Al-qur’an. S.
Zalzalah (XCIX) 7-8, artinya : “ Barang siapa yang mengerjakan seberat atom
kebaikan dan akan menyaksikan (akibat buruknya) dan barang siapa yang
mengerjakan seberat atom kejahatan dia pun akan menyaksikan (akibat buruknya).”
9.
Al-qur’an. S.
At-Taubah (IX) 75, artinya : “ Dan jika orang-orang (jahat) itu bertaubat maka
kebaikan bagi mereka, tetap jika mereka membanggakan maka Tuhan akan menyiksa
mereka dengan siksaan yang pedih di dunia dan di akhirat.”
10.
Al-qur’an. S.
An-Nahl 30, artinya : “ Dan mereka yang berjuang di jalan-Ku (kebenaran), maka
pasti aku tunjukan jalannya (mencapai tujuan) sesungguhnya Tuhan itu cinta
kepada orang-orang yang selalu berbuat baik (progresif).”
11.
Al-qur’an. S.
Al-Hujarat (XLIX) 13, artinya : “ Hai sekalaian ummat manusia, sesungguhnya
kami (Tuhan) telah menciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan dan kami
jadikan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku ialah agar kamu saling mengenal,
sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu bagi Tuhan ialah yang paling
bertakwa (cirri kebenaran) sesungguhnya Tuhan itu Maha Mengetahui dan Maha
Meneliti.”
12.
Al-qur’an. S.
Al-Hujarat (XLIX) 10, artinya : “ Sesungguhnya orang-orang yang beriman (cinta
kebenaran) itu ber saudara, maka usahakanlah adanya kerukunan dan diantara
golongan saudaramu.”
VI. KEADILAN SOSIAL DAN KEADILAN EKONOMI
- Al-qur’an. S. Al-Lail (XCII) 8-9-10, atinya : “ Adapun orang-orang kafir tidak mau mengorbankan sedikit pun (dari haknya) dan merasa cukup sendiri (egoistis) serta mendustakan (mencemoohkan) kebaikan, maka kami licinkan jalan kea rah kesukaran (kekacauan).”
- Al-qur’an. S. Al-Maidah (V) 8, artinya : “ Janganlah sekali-kali kebencian segolongan itu membuat kamu menyeleweng dan tidak menegakkan keadilan, tegakkan keadilan itulah mendekati taqwa (kebenaran) dan bertaqwa lah kamu kepada Tuhan.”
- Al-qur’an. S. Ali imran (XI) 104, artinya : “ Hendaklah di antara kamu suatu kelompok yang mengajak kebaikan, memerintahkan yang maruf (baik) sesuai dengan pri kemanusiaan dan melarang yang munkar (jahat) dan bertaqwalah kamu kepada Tuhan.”
- Hadist : “ Tiap-tiap kamu adalah pemimpin dan tiap-tiap kamu akan bertanggung jawab atas pimpinannya.”
- Ditarik kesimpulan dari keterangan orang-orang yang beriman Al-qur’an. S. As syura (XLII) artinya: “ Urusan mereka di selesaikan melalui mesyawarah di antara mereka.” Al-qur’an. S. An nisa (IV) 59, artinya: “ Sesungguhnya kesalahan terletak pada mereka yang mendalami (bertindak tidak adil) kepada manusia dan berbuat kekacauan di muka bumi tanpa ada alasan kebenaran.”
- Al-qur’an. S. An nisa (IV) 59, artinya: “ Hai orang-orang beriman, taatlah kamu sekalian kepada Tuhanmu agar kamu menunaikan amanat-amanat kepada yang berhak dan jika kamu memerintahkan di antara manusia, maka memerintahkan kamu dengan keadilan.”
- Al-qur’an. S. An nisa (IV) 59, artinya: “ Hai orang-orang yang beriman, taatlah kamu sekalian kepada Rasul-Nya serta kepada yang berhak dan jika kamu memerintah di antara manusia, maka memerintahkan kamu dengan keadilan.”
- Al-qur’an. S. Al-Maidah (V) 59, artinya : “ Barang siapa yang tidak menjalankan hokum apa yang di turunkan oleh Tuhan (ajaran kebenaran), maka mereka itu adalah orang-orang yang jahat.”
- Al-qur’an. S. Al-Hadid (LVII) 20, artinya : “ Ketahuilah bahwa sesungguhnya hidup di dunia (sejarah) ini adalah permainan kesenangan dan perhiasan serta saling memegang urusan (pemerintah) diantara kamu.”
- Al-qur’an. S. Al-Isra (XVII) 16, artinya : “ Dan jika kami hendak membinasakan negeri, maka kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan kami) kemudian kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.”
- Di tarik kesimpulan firman Tuhan tentang orang-orang yahudi yang terkutuk karena sifat-sifat kapitalis mereka yaitu Al-qur’an. S. An nisa 160-161, artinya: “ Maka karena kejahatan orang-orang Yahudi itulah kami menghalangi jalan kepada Tuhan (jalan kebenaran). Demikan juga karena mereka mengambil riba padahal sudah di larang, dan karena mereka merampas harta kekayaan manusia dengan cara yang tidak benar (bathil). Demikian juga dapat di simpulkan dari seruan nabi Syuaib kepada rakyatnya Nabi Syu’ib adalah suatu prototype dari masyarakat yang tidak adil atau kapitalis tersebut di tiga tempat, antara lain ialah Al-qur’an. S. Asy-syura (XXVI) 182-183 artinya : “ Dan timbanglah dengan ukuran yang betul (adil) serta janganlah merampas harta milik sesame manusia dan janganlah kamu melakukan kejahatan di muka bumi ini sambil membuat kekacauan.” Terjadi nya tindakan-tindakan atas sesama manusia (exploitation del’homeper I’home) di pahamkan dari firman Tuhan dalam Al-qur’an. S. Al-Baqarah (II) 279, artinya : “ …Dan jika kami tau’bat (berhenti menjalankan riba atau penindasan kapitalis) maka kamu memperoleh kembali capital-kapital mu kami tidak boleh mendalami (memerlukan secara tidak adil, ditindas) tersebut dalam rangkaian cerita firaun yaitu Al-qur’an. S. Al-Qashahs (XXVII) 5, artinya : “ Dan kami (Tuhan) mengkhendaki untuk memberikan pertolongan kepada kaum tertindas di bumi, untuk menjadikan pula mereka itu pewaris-pewaris.”
- Pemberantasan kapitalisme harus di lakukan dengan konsekuen, bila perlu dengan menyatakan perang kaum kapitalis, sesuai dengan perintah Tuhan dalam Al-qur’an. S. Al-Baqarah (II) 278, artinya : “ Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kamu dengan benar-benar beriman. Jika tidak kamu kerjakan (perintah meninggalkan riba) maka bersiaplah kamu sekalian terhadap adanya perang dari Tuhan dan Rasul-Nya (perang suci jihad) Tetapi jika kamu taubat (berhenti dari penindasan kapitalis) maka kamu dapat memperoleh kembali capital-kapitalmu. Kamu tidak menindas dan tidak pula di tindas.”
- Al-qur’an. S. Humazah (CIV)1-2-3 artinya : “ Celakalah bagi setiap pencerca (kaum sinis kepada kebenaran) yang suka mengumpulkan harta dengan cara menghitung-hitungnya, dia mengira harta nya itu kekal mengekalkannya.”
- Kaum muslimin yang seharusnya mempelopori tugas suci itu. Kaum muslimin di gambarkan dalam Al-qur’an. S. Ali imran (III) 110 artinya : “ Kamu adalah sebaik-baiknya golongan yang di tengahkan di antara manusia karena kamu selalu menganjurkan kepada kebaikan dan mencegah dari pada kejahatan dan kamu semua beriman kepada Tuhan.”
- Al-qur’an. S. Ashshaf (LXI) 2-3 artinya: “ Hai orang yang beriman, mengapakah kamu mengatakan sesuatu yang kamu tidak kerjakan.”
- Al-qur’an. S. Al-Ankabut (XXIX) 45, artinya : “ Sesungguhnya sembahyang itu mencegah kekejian-kekejian dan sungguh selalu ingat kepada Tuhan itu merupakan suatu Yang Agung.”
- Hadist : “ Sembahyang adalah tiang agama, barang siapa yang mengerjakan berarti menegakkan agama dan barang siapa yang meninggalkannya berarti merobohkan agama.”.
- Al-qur’an. S. Lukman (XYXI) 30, artinya : “ Demikianlah, sebab sesungguhnya Tuhan itulah dan sesungguhnya apa yang mereka pula selain-Nya adalah kepalsuan dan sesungguhnya Tuhan itu Maha Tinggi dan Maha Agung.”
- Al-qur’an. S. Ar-Rum (XYX) 37, artinya : “tidaklah mereka melihat bahwa Tuhan melapangkan rezeki (ekonomi) bagi siapa saja yang di khendaki dan menyempitkannya, sesungguhnya dalam hal itu ada pelajaran-pelajaran bagi orang yang beriman.”
- Al-qur’an. S. At-Taubah (IX) 60, artinya : “Sesungguhnya sedekah (zakat) itu untuk fakir miskin.”
- Al-qur’an. S. Al-Baqarah (II) 188, artinya : “Dan janganlah kamu memakan harta dengan cara yang bathil (tidak benar) diantara kamu, dan kamu mengadakan hal itu kepada hakim-hakim (pemerintah) agar kamu dapat mengambil bagian dari harta orang lain dengan dosa, padahal kamu mengetahui.”
- Al-qur’an. S. Furqan (XXV) 67, artinya : “Dan mereka yang apabila mempergunakan hartanya tidak berlebihan dan tidak pula kekurangan, melainkan kepada keseimbangan di antara keduanya.”
- Al-qur’an. S. Al-Isra (XVII) 67, artinya : “Berikanlah kepada keluarga itu haknya (dari harta yang kamu miliki) demikian juga kepada orang miskin dan kepada orang terlantar dan janganlah berlebihan itu adalah kawan-kawan setan sedangkan setan ingkar kepada Tuhannya.”
- Al-qur’an. S. Al-Isra (XVII) 16, artinya : “ Apabila kami (Tuhan) mengkhendaki untuk menghancurkan suatu negeri, kami berikan kesempatan kepada orang-orang yang mewah di negeri itu untuk memerintah, kemudian mereka membuat kecurangan-kecurangan di negeri itu maka benar-benar terjadilah keputusan kata (vonis) atas negeri itu, lalu kami hancurkan.”
- Al-qur’an. S. Muhammad (XLVII) 38, artinya : “Demikianlah kamu orang-orang yang di serukan untuk mempergunakan harta mu di jalan Tuhan (untuk kebaikan kepentingan umum), maka di antara kamu ada yang kikir dan barang siapa yang kikir maka sesungguhnya ia kikir terhadap dirinya sendiri. Tuhan tidak memerlukan sesuatu pun tetapi kamulah yang memerlukan dan kalau kamu berpaling tidak mau mempergunakan harta untuk kebaikan umum. Tuhan akan menggantikan kamu dengan kelompok lain kemudian mereka tidak lagi seperti kamu.”
- Al-qur’an. S. Thaha (XX) 6, 63, 4, 123, 131, 132 artinya : “Ingatlah bahwa sesungguhnya kepunyaan Tuhan lah segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi.”
- Al-qur’an. Artinya : “Adalah kami (Tuhan) yang sesungguhnya menempatkan kamu di bumi dan membuat untuk kami sekalian di dalamnya prikehidupan mata pencaharian.”
- Al-qur’an. S. Al-Hadid (LVII) 7 artinya : “Berimanlah kamu kepada Tuhan dan Rasul dan dermakan lah harta kamu jadikan oleh Tuhan untuk mengurusnya.”
- Al-qur’an. S. Al-Isra (XVII) 67, artinya : “ Dan berikanlah kepada mereka (orang-orang) miskin itu dari harta Tuhan yang telah di berkahkan-Nya kepadamu.”
- Al-qur’an. S. Al-Ma’aridi (LXX) 24-25, artinya : “Dan orang-orang pada harta mereka terdapat hak yang pasti bagi orang miskin yang meminta-minta maupun yang tidak minta-minta.”
VII.
KEMANUSIAAN DAN ILMU PENGETAHUAN
- Al-qur’an. S. At-Tien (XCV) 6, artinya : “Kecuali mereka yang beramal saleh.”
- Al-qur’an. S. Al-Qashash (XXVII) 8, artinya : “Segala sesuatu itu rusak (berubah) kecuali dari padanya.”
- Al-qur’an. S. Al-An’am (VI) 57, artinya : “Sesungguhnya hokum atau nilai itu hanya kepunyaan Allah, dia menerangkan keberatan dan Dia adalah sebaik-baiknya pemutus perkara.”
- Al-qur’an. S. Al-Isra (XVII) artinya : “Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak mempunyai pengertian akan dia, sebab sesungguhnya pedengaran, penglihatan dan hati nurani itu semuanya bertanggung jawab atas hal tersebut.”
- Al-qur’an. S. Fathir (XLI) artinya : “ Akan perhatikan kepada mereka (manusia) tanda-tanda kami di luar angkasa dan dalam diri mereka sendiri sehingga menjadi jelas bahwa Al-Qur’an itu benar, tidak lah cukup dengan Tuhan bahwa Dia menyaksikan sesuatu.”
- Al-qur’an. S. Fathir (XXXV) 287, artinya : “Sesungguhnya yang bertakwa tidak hanya Tuhan melainkan Allah begitu pula pada Malaikat dan orang-orang yang berilmu pengetahuan dengan tegak kepada kejujuran.”
- Al-qur’an. S. Muhaddalah (LVIII) ii, artinya : “Allah mengangkat orang-orang di antara kamu dan yang berilmu pengetahuan bertingkat-tingkat.”
- Al-qur’an. S. Al-Jatsiyah (XLV) 134, artinya : “Dan Dia (Tuhan) menyediakan bagi kamu apa yang ada di langit dan di bumi.”
- Al-qur’an. S. Ali Imran (III) 137, artinya : “Telah lewat setelah kamu hokum-hukum sejarah, maka menggambarkan di muka bumi kamu kemudian perhatikanlah oleh mu bagian akibat orang-orang yang mendustakan-Nya.”
- Al-qur’an. S. As Syam (XCI) 9-10, artinya : “Sesungguhnya berbahagialah dia yang membersihkannya (sisinya) dan sungguh celakalah bagi mereka yang mengotorinya (dirinya).”
- Al-qur’an. S. Yusuf (XI) iii, artinya : “Sungguh dalam riwayat mereka itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang berfikir.”
No comments:
Post a Comment